Monday, March 7, 2011

Mengobrol dengan Mayat

Pengalaman : Bernard T. Wahyu Wiranta

Saat ke Papua, saya sempat mendapat undangan dari seorang warga Suku Walesi untuk berkunjung ke perkampungannya di Lembah Baliem, Wamena, Jayawijaya
Di perkampungan ini, saya menyaksikan upacara pemotongan babi dan upacara bakar batu. Upacara adat ini diselenggarakan karena kebetulan ada salah satu anggota suku yang meninggal. Sesuai tradisi, seluruh anggota keluarga yang berkabung melayat. Mereka membawa babi yang kemudian dipotong dengan cara dipanah dan dimasak dengan batu membara di dalam lubang pembakaran.
Selesai upacara pemotongan babi, saya diundang masuk ke dalam honai (rumah asli penduduk Papua) oleh Taulog Aso, salah seorang kepala suku. Setelah melewati pintu honai yang pendek dan sempit, kami semua duduk berkeliling di dalam honai yang pengap. Di sana kami mengobrol, minum kopi, dan melinting tembakau.
Suasana dalam honai yang tanpa jendela tentu saja agak gelap bagi mata saya. Bagian honai ini dibagi dua, bagian bawah untuk memasak dan berkumpul, bagian atas untuk tidur. Di tengah honai terdapat perapian dengan bahan bakar kayu dan rumput.
Sejak masuk honai, hidung saya langsung mencium bau menyengat seperti bau bangkai. Makin lama makin menyengat. Sambil menyeruput kopi, saya mengeluarkan cerutu untuk mengusir bau bangkai. Saya juga mengeluarkan rokok untuk diisap beramai-ramai. Semua yang ada di dalam honai mengambil rokok saya kecuali satu orang. Ia hanya duduk diam sambil memeluk lututnya di samping saya, seperti kedinginan.
Karena merasa tidak enak, saya sodorkan rokok kepada orang itu. Tapi Taulog Aso memberi tahu saya, "Lazarus sudah mati, Bapak. Tidak merokok!" Mendengar jawaban itu, jantung saya seperti berhenti. Deg! Rupanya ini sumber bau menyengat tadi. Ternyata saya dari tadi mengobrol dan ngopi di samping mayat yang sudah kehilangan nyawa beberapa hari lalu. Saat itu saya baru ingat bahwa penduduk di sini menguburkan mayat dalam posisi duduk memeluk lutut. Mayat di samping saya itu baru akan dikubur hari itu.

No comments:

Post a Comment