Showing posts with label kebudayaan. Show all posts
Showing posts with label kebudayaan. Show all posts

Monday, March 7, 2011

Mencuci Piring dengan Beras

Oleh : Trimulya

Mencuci piring kotor lazimnya dilakukan menggunakan air. Tapi di Cilacap, Jawa Tengah, ternyata ada cara unik untuk mencuci piring. Bukan dengan air, melainkan dengan beras!
Ya, beras yang biasa ditanak menjadi nasi itu. Hingga sekarang, cara ini masih dipertahankan masyarakat Cilacap bagian barat.
Tradisi ini dilakukan terutama pada saat hajatan, lebih-lebih di musim kemarau. Salah satu alasannya adalah kurangnya persediaan air bersih. Pada saat hajatan, biasanya diperlukan piring dalam jumlah sangat banyak karena jumlah undangan biasanya juga banyak. Air lebih diutamakan untuk dikonsumsi.
Beras yang digunakan untuk mencuci piring adalah beras yang masih setengah bersih atau masih ada gabah dan dedaknya. Jumlah beras harus cukup banyak, setidaknya harus bisa "dicelupi" oleh piring puluhan kali. Biasanya jumlah minimal agar bisa digunakan adalah 50 kg.
Sebelum dicuci dengan beras, piring yang baru saja dipakai makan harus dilap dengan daun pisang kering "klaras" untuk mengurangi lemak yang menempel. Setelah itu piring "dicelupkan" dan dibersihkan dengan beras. Caranya persis seperti mencuci piring dengan air. Selanjutnya piring dibersihkan lagi dengan kain lap untuk menghilangkan debu beras atau dedak yang menempel. Dengan sekali gosok, lemak dan bau amis akan segera lenyap. Piring pun siap digunakan untuk wadah makan lagi.
Selesai digunakan untuk mencuci piring, beras itu masih bisa dikonsumsi. Caranya, beras tersebut dijemur ulang, lalu dibersihkan secara manual dengan "ditampi" (menggunakan alat bundar yang terbuat yang terbuat dari anyaman bambu/tampah). Cara unik dan kreatif ini bisa menghemat air yang biasanya sulit didapat di musim kemarau.

Mengobrol dengan Mayat

Pengalaman : Bernard T. Wahyu Wiranta

Saat ke Papua, saya sempat mendapat undangan dari seorang warga Suku Walesi untuk berkunjung ke perkampungannya di Lembah Baliem, Wamena, Jayawijaya
Di perkampungan ini, saya menyaksikan upacara pemotongan babi dan upacara bakar batu. Upacara adat ini diselenggarakan karena kebetulan ada salah satu anggota suku yang meninggal. Sesuai tradisi, seluruh anggota keluarga yang berkabung melayat. Mereka membawa babi yang kemudian dipotong dengan cara dipanah dan dimasak dengan batu membara di dalam lubang pembakaran.
Selesai upacara pemotongan babi, saya diundang masuk ke dalam honai (rumah asli penduduk Papua) oleh Taulog Aso, salah seorang kepala suku. Setelah melewati pintu honai yang pendek dan sempit, kami semua duduk berkeliling di dalam honai yang pengap. Di sana kami mengobrol, minum kopi, dan melinting tembakau.
Suasana dalam honai yang tanpa jendela tentu saja agak gelap bagi mata saya. Bagian honai ini dibagi dua, bagian bawah untuk memasak dan berkumpul, bagian atas untuk tidur. Di tengah honai terdapat perapian dengan bahan bakar kayu dan rumput.
Sejak masuk honai, hidung saya langsung mencium bau menyengat seperti bau bangkai. Makin lama makin menyengat. Sambil menyeruput kopi, saya mengeluarkan cerutu untuk mengusir bau bangkai. Saya juga mengeluarkan rokok untuk diisap beramai-ramai. Semua yang ada di dalam honai mengambil rokok saya kecuali satu orang. Ia hanya duduk diam sambil memeluk lututnya di samping saya, seperti kedinginan.
Karena merasa tidak enak, saya sodorkan rokok kepada orang itu. Tapi Taulog Aso memberi tahu saya, "Lazarus sudah mati, Bapak. Tidak merokok!" Mendengar jawaban itu, jantung saya seperti berhenti. Deg! Rupanya ini sumber bau menyengat tadi. Ternyata saya dari tadi mengobrol dan ngopi di samping mayat yang sudah kehilangan nyawa beberapa hari lalu. Saat itu saya baru ingat bahwa penduduk di sini menguburkan mayat dalam posisi duduk memeluk lutut. Mayat di samping saya itu baru akan dikubur hari itu.