Friday, March 11, 2011

Suksesi Nurdin : Sudah 8 Tahun dan Masih Ingin Berlanjut

Kepemimpinan Nurdin Halid di PSSI berawal pada Oktober 2003. Dalam bursa pencalonan ketua umum di Kongres PSSI di Jakarta tersebut, pria yang mengawali karier sebagai Manajer PSM Makassar itu bersaing dengan Jacob Nuwa Wea dan Sumaryoto.
Dalam pemungutan suara tahap pertama, Nurdin meraih 131 suara, Jacob 134 suara, Sumaryoto 88 suara. Karena tidak ada satu calon pun yang memperoleh 50 persen plus 1 suara, digelarlah pemilihan ulang, hanya mempertandingan Nurdin dan Jacob. Dalam pemilihan kedua, Nurdin meraih 183 suara mengalahkan Jacob dengan 167 suara.
Berhasilkah Nurdin memimpin PSSI jika menengok kembali apa saja janji yang ia ucapkan saat kongres 2003?
Janji Nurdin saat itu memantapkan sepak bola Indonesia dengan membaginya dalam lima kompetisi: senior, U-23, yunior, sepak bola wanita, dan futsal. Ia juga menyatakan, "Para pengurus nantinya mereka yang jarang muncul dan berbicara tentang sepak bola, tetapi belum tentu tidak mengetahui sepak bola. Yang pasti, mereka tenaga-tenaga muda profesional di bidangnya," tegas Nurdin kala itu.
Nyatanya, sulit mengatakan janji Nurdin terwujud. Kompetisi senior? Berjalan, tetapi sarat kritik menyangkut dugaan skandal pengaturan skor, kegagalan kompetisi melahirkan pemain tangguh untuk tim nasional, dan buruknya manajemen kompetisi, antara lain terkait jadwal pertandingan dan akuntabilitas keuangan.
Kompetisi yunior dan U-23 berlangsung, tetapi, mohon maaf, jauh dari sempurna. Kompetisa sepak bola wanita sama sekali tidak berjalan. Sedangkan futsal, beruntung masih ada suasana booming sehingga liga profesional bergulir tiap tahun meski jumlah klub masih saja kurang dari 10.
Dengan performa pas-pasan itu, Nurdin terpilih kembali memimpin PSSI dalam Munas 2007 di Makassar. Saat Sekjen PSSI Nugraha Besoes diminta membaca nama calon, hanya ada satu nama: Nurdin Halid.
Laporan pertanggungjawaban Nurdin diterima peserta dan tampillah dia kembali sebagai Ketua Umum PSSI 2007-2011. Sangat memprihatinkan, dari tiga peserta munas yang menyampaikan pandangan umum, hanya wakil Persija, Viktor Sitanggang, yang melontarkan pandangan kritis. Yang lain berisi puja-puji.
Sitanggang mengungkap beberapa masalah khas klub. Di antaranya, sikap PSSI yang tidak konsisten menetapkam regulasi kompetisi, ketertutupan PSSI terkait informasi soal hak klub atas dana sponsor liga, dan pungutan PSSI terhadap klub dalam sejumlah turnamen.
Minimnya suara kritis terhadap kepemimpinan Nurdin memperlihatkan tipisnya idealisme anggota PSSI, yang terbilang 570 orang, terhadap pembenahan sepak bola nasional.
Sikap kritis kebanyakan disuarakan mantan pemain yang kini menjadi pelatih, kalangan pers, dan pengamat sepak bola. Sementara anggota PSSI, yang punya hak suara demi kepentingan sepak bola, diam seribu bahasa. Tak pelak, saat munas atau kongres berlangsung, yang terjadi hanya apa mau pengurus PSSI, apa mau Nurdin.
Nurdin membantah sinyalemen itu. "Tidak betul semua itu. Itu karena saya tidak mendapat pemberitaan berimbang. Bagaimana mungkin membayar orang-orang yang datang. Ketua PSSI di daerah rata-rata pejabat, ada bupati, wali kota, gubernur. Yang dibayar hanya uang transpor, hotel, yang memang tanggung jawab panitia," ujarnya.
Nurdin juga menyebut ketua PSSI di daerah "aneka warna" partai politik. "Ketua PSSI DKI Jakarta kader Partai Demokrat, Kalimantan Tengah dari PDI-P, Lampung dari Demokrat. Kalimantan Barat baru dari Golkar. Bagaimana saya bisa pengaruhi mereka semua?" kata Nurdin lagi.
Sayangnya, secara kasatmata, nyaris tidak ada perbaikan signifikan di persepakbolaan nasional selama delapan tahun kepemimpinan Nurdin. Tanpa gelar di kancah internasional, ditambah lagi karut-marut kompetisi yang penuh masalah, lengkap sudah "perkabungan" sepak bola kita.

Sumber : Kompas (11/3/2011)

No comments:

Post a Comment